Thursday 28 October 2021

ORIENTASI NILAI BUDAYA MENURUT INDIVIDU MODERN SAAT INI : Kerangka Kluckhohn Mengenai 5 Masalah Besar Dalam Hidup yang Menentukan Orientasi Nilai Budaya Manusia.

 


Wahyu Hidayah

19310410052

Artikel ini dibuat untuk memenuhi Tugas Ilmu Budaya Dasar

Prodi Psikologi

Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta

Dosen Pengampu : Amin Nurohmah, S.Pd.,Msc

 



Pembangunan merupakan strategi yang harus dilakukan oleh suatu bangsa untuk memajukan taraf kehidupan warga masyarakatnya. Keberhasilan Pembangunan sangat ditentukan oleh kualitas sumber daya manusia dalam hal ini adalah menyangkut sikap mental/mentalitas yang dimiliki manusianya. Mentalitas merupakan suatu kapasitas rokhaniah yang terdapat pada seseorang yang menentukan perilaku berbuat atau bertindak dalam hidupnya (Mattulada, 1985: 48). Apa yang dinyatakan dalam perilaku itu membentuk sikap seseorang terhadap sesuatu yang lain. Sikap mental inilah yang sering disebut sebagai sistem nilai budaya (cultural value system). Kluckhohn mengungkapkan bahwa sistem nilai budaya dalam suatu kebudayaan sesungguhnya menyangkut masalah-masalah dasar dalam hidup yang menentukan orientasi nilai budaya manusia. Orientasi nilai budaya dalam mencapai tujuan pembangunan nasional adalah salah satu faktor yang ikut membentuk potensi mentalitas manusia (Koentjaraningrat, 1987: 31). Sikap mental (attitude) merujuk pada individu dan nantinya secara sekunder kepada masyarakat. Sikap merupakan suatu disposisi atau keadaan mental seseorang untuk bereaksi terhadap lingkungannya.

Orientasi nilai budaya manusia merupakan faktor penting dalam mencapai suatu tujuan. Hal ini dapat dilihat dari pandangannya terhadap kehidupan. Orientasi nilai budaya atau yang bisa juga disebut sebagai sistem nilai budaya adalah konsep – konsep yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar masyarakat yang berkaitan dengan apa yang diinginkan, pantas, dan berharga, yang mempengaruhi individu yang memilikinya dan berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia.

Kluckhohn dalam bukunya yang berjudul “Variations in Value Orientation” menyatakan bahwa sistem nilai budaya dalam semua kebudayaan di dunia sebenarnya mengenai 5 masalah pokok dalam kehidupan manusia.

 

1.      Masalah mengenai hakikat dari hidup manusia

 

Hidup itu buruk jika manusia tersebut mengalami kesulitan atau kegagalan dalam hidupnya dan berpendapat bahwa hidup itu negatif. Sebagai contoh, di Amerika terdapat suku Indian yang memiliki paham bahwa setiap bayi yang lahir itu adalah suatu kesialan. Dan jika ada orang yang mati, itu merupakan suatu hal yang menggembirakan. Hal tersebut terjadi karena mereka berpendapat bahwa bayi yang lahir tersebut nantinya hanya akan mendapat kesulitan dan kesengsaraan dalam menjalani hidup di dunia. Mereka juga berpendapat bahwa yang mati akan bahagia hidup di alam sana karena telah terbebas dari masalah – masalah dalam hidup. Sehingga ketika ada bayi lahir, mereka menyambutnya seperti pemakaman. Sedangkan ketika ada kematian, mereka merayakannya seperti pesta.

2.      Masalah mengenai hakikat dari karya manusia

Karya itu nafkah sebagai contoh Hidup itu sebagai suatu hal yang baik jika kita beranggapan bahwa hidup merupakan suatu anugerah dari Tuhan dan merupakan hal yang berdampak positif. Sebagai contoh, seorang yang sukses di dunia pasti beranggapan bahwa hidup di dunia merupakan anugerah dari Tuhan karena bisa menikmati hidup serta sukses di dunia.

Karya itu untuk kedudukan, kehormatan dan sebagainya. Sebagai contoh, Bill Gates membuat sebuah karya berupa Operating System yang diproduksi oleh perusahaannya yaitu Microsoft. Ia membuat karya tersebut awalnya bukan karena ingin menjadi orang yang nantinya kaya raya. Namun, ia membuat karya tersebut agar mendapat penghargaan dan kehormatan atas karyanya yang mampu memperlancar segala kegiatan IT dan memotivasi orang lain untuk berkarya kreatif seperti dirinya, sehingga ia mampu menjadi Presiden Microsoft. Jadi, karya itu dianggap sebagai alat untuk mendapat kehormatan atau kedudukan yang lebih tinggi.

Karya itu untuk menambah karya. Sebagai contoh, seorang penyair atau pembuat puisi membuat puisi tersebut selain untuk berkarya, juga untuk menambah karya – karyanya yang dulu sudah ada agar bertambah banyak dan menjadi terkenal karena puisinya yang banyak.

3.      Masalah mengenai hakikat dari kehidupan manusia dalam ruang waktu

Orientasi ke masa kini. Contohnya seseorang yang mempunyai gaya hidup tinggi akan selalu menghabiskan uangnya pada waktu itu juga tanpa memikirkan masa yang akan datang yang tidak bisa kita tebak apakah masih mempunyai penghasilan untuk mencukupi kebutuhan.

Orientasi ke masa lalu. Contohnya orang yang sudah tua dia tidak mau mengikuti masa kini dan selalu menggunakan cara masa lalu seperti masih menggunakan KTP dahulu dan enggan berganti masa kini yang sudah berubah elektrik menjadi E-KTP sudah dibujuk dan tetap masih keras kepala. Orientasi ke masa depan. Contohnya orang yang berada dan sukses akan memikirkan masa depan anaknya dan hidup mereka seperti membeli rumah untuk anaknya selagi masih banyak rezeki.

4.      Masalah mengenai hakikat dari hubungan manusia dengan alam sekitarnya

Manusia tunduk kepada alam yang dahsyat. Sebagai contoh, BBM yang merupakan bahan bakar minyak. Manusia di dunia sebagian besar menggunakan kendaraan yang berbahan bakar BBM. Jika alam tidak menyediakan bahan untuk membuat BBM, maka manusia akan kesulitan dan akhirnya tak berdaya karena kehendak alam. Contoh lain adalah bencana alam. Sehebat – hebatnya manusia dalam membuat bangunan, pasti bangunan tersebut akan runtuh juga oleh bencana alam dan membuat manusia menjadi tak berdaya. Ia membuktikan bahwa manusia masih tunduk kepada alam yang dahsyat.

Manusia menjaga keselarasan dengan alam. Cotohnya penanaman pohon bakau di tepi-tepi sungai untuk tetap menjaga habitat ikan dan mencegah abrasi air laut di desa ujungmanik selain itu juga pernah terjadi pada tahun 2019 Paus terdampar di sungai desa ujungmanik dan diselamatkan oleh nelayan diantarkan kearah laut.

Manusia berusaha menguasai alam. Sebagai contoh, para penebang hutan liar di Kalimantan berusaha memanfaatkan alam untuk kepentingan mereka sendiri. Mereka tidak memikirkan akibat yang akan ditimbulkan dari kegiatan ilegal mereka tersebut seperti terjadinya bencana alam. Contoh lain adalah para pemburu binatang untuk diawetkan. Mereka tidak berpikir bahwa binatang jika diburu akan dapat merusak habitat dan ekosistem lingkungan alam. Mereka hanya berpikir jika mereka mendapatkan binatang untuk diawetkan, mereka akan mendapatkan uang banyak.

 

 

5.      Masalah mengenai hakikat dari hubungan manusia dengan sesamanya.

Orientasi Kolateral (horizontal), rasa ketergantungan kepada sesamanya (berjiwa gotong royong). Manusia sejak lahir memiliki rasa ingin hidup bersama yang lain. Manusia tidak dapat hidup tanpa adanya bantuan dari orang lain. Maka dari itu manusia sangatlah bergantung pada manusia yang lain sehingga saling membantu antara satu dengan yang lainnya. Contohnya dalam hidup bertetangga pastinya saling membantu ketika ada kesulitan dan tidak bisa dikerjakan sendiri seperti membangun rumah, mengadakan hajatan.

 

Orientasi Vertikal, rasa ketergantungan kepada tokoh-tokoh atasan dan berpangkat. Seseorang dalam hidup pasti membutuhkan orang atau tokoh atasannya untuk membantunya dalam mengatasi permasalahan hidup. Sebagai contoh, seorang siswa SMA tidak akan bisa lulus Ujian Nasional tanpa adanya bantuan bimbingan dari tokoh atasannya yaitu gurunya. Jika guru tersebut tidak memberikan bimbingan kepadanya, maka murid tersebut akan kesulitan dalam menghadapi Ujian Nasional dan akhirnya tidak lulus. Jadi, manusia selain tergantung pada sesamanya yang sederajat, juga tergantung pada manusia yang lebih tinggi derajatnya.

Individualisme menilai tinggi usaha atas kekuatan sendiri. Contohnya seseorang yang mendapatkan juara kelas dia merasa paling hebat dari yang lain padahal belum tentu dia hebat disemua bidang dan sikap ini akan menimbulkan rasa sombong yang membuat orang lain tidak suka terhadap sikapnya. Hidup kita ditentukan oleh sikap kita pastinya membutuhkan bimbingan dan bantuan dari orang lain. Untuk memiliki kehidupan yang baik kita harus selalu bersyukur dengan apa yang kita miliki.

 

 

 

Sumber Data :

 

Koentjaraningrat. (1987). Kebudayaan mentalitas dan pembangunan. Jakarta: Gramedia.

 

Mattulada. (1985). Mentalitas dan ciri-ciri kepribadian bangsa Indonesia dalam Bachtiar, Harsya W. Dkk. Yogyakarta: Hanindita.

 

 

 

Sumber Gambar :

https://www.google.com/url?sa=i&url=https%3A%2F%2Firwanzulkifli.wordpress.com%2F2013%2F11%2F19%2Forientasi-nilai-budaya%2F&psig=AOvVaw330lZ81TwF9rU_a9Eo12DN&ust=1635514713744000&source=images&cd=vfe&ved=0CAgQjRxqFwoTCMCTvdCd7fMCFQAAAAAdAAAAABAD

 

Perkembangan Pesat Teknolohi dan Komunikasi Berpengaruh terhadap Perubahan Pranata Sosial Masyarakat


Wahyu Hidayah

19310410052

Artikel ini dibuat untuk memenuhi Tugas Ilmu Budaya Dasar

Prodi Psikologi

Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta

Dosen Pengampu : Amin Nurohmah, S.Pd.,Msc

 



 

Perkembangan pranata kehidupan sosial  masyarakat terus mengalami perubahan-perubahan. Hal ini disebabkan oleh adanya kemajuan teknologi yang berkembang pesat. Bahkan perubahan pola konsumsi masyarakat sangat ditentukan oleh perubahan lingkungan sekitar, bukan ditentukan oleh kebutuhan (needs) tapi oleh keinginan (wants).  Sementara itu pengertian dari pranata sosial adalah suatu sistem tata kelakuan dan hubungan yang berpusat kepada aktivitas-aktivitas untuk memenuhi kompleks-komplkes kebutuhan khusus dalam kehidupan masyarakat. Berdasarkan pengertian tersebut dapat dipahami bahwa dalam sebuah pranata sosial sebagai sebuah sistem tentu terdapat tiga hal utama, yakni subjek yaitu manusia, objek yaitu aktivitas yang dilaksanakan untuk memenuhi kebutuhan dan kelembagaan yaitu aturan atau norma yang mengatur aktivitas tersebut. Oleh karenanya, di dalam pranata sosial terdapat seperangkat aturan yang berpedoman pada kebudayaan Koentjaraningrat (1964).


Demonstrative effects menjadi kebanggaan dan pedoman konsumtif kelompok masyarakat tertentu. Sikap konsumerisme yang berlebihan tersebut berdampak pada tergerusnya ekonomi bangsa. Hal ini karena bangsa kita harus menyediakan devisa yang cukup untuk melakukan impor dalam memenuhi kebutuhan masyarakat yang telah mengalami pergeseran dan perubahan kepala pola konsumtif tertentu. Bahkan gejala ini seringkali mengarah pada sikap over consumptive atau materialistis (Marzali, 2007 :186).  Perilaku tersebut sering diperlihatkan oleh sebagai kelompok masyarakat yaitu kelas menengah ke atas yang biasanya banyak hidup diperkotaan.

Jadi tidak heran bila di berbagai media termasuk elektronik banyak muncul iklan-iklan yang ribuan jumlahnya. Peranan jasa perbankan seperti kartu kredit dan kartu debit mempermudah kelompok ini untuk melakukan transaksi, baik antar wilayah maupun antar negara. Jarak antar negara tidak lagi menjadi halangan di dalam memenuhi keinginan masyarakat. Mereka

cukup membuka komputer dan internet dan langsung dapat melakukan transaksi baik di pasar uang maupun pasar barang. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sangat mendukung perubahan pranata ini. Komunikasi antar masyarakat dapat menyebabkan saling pengaruh mempengaruhi. Pengaruh tersebut dapat dalam bentuk ideologi, penemuan-penemuan baru, maupun perubahan perilaku. Namun sebaliknya, bagi masyarakat yang terasing, perubahan tersebut tidak akan dapat diperoleh karena tidak adanya komunikasi dengan masyarakat luar yang biasanya membawa sesuatu yang baru di dalam kehidupan.

Perubahan kehidupan pranata sosial dan ekonomi ini dapat berarti dan bermanfaat bila perubahan tersebut normal, wajar dan tidak mengandung traumatik (Ranjabar, 2008 : 54). Misalnya, pada masa lalu tanah diolah dengan bajak, namun sekarang diolah dengan traktor. Perdagangan dilakukan antar desa, berubah menjadi antar negara atau lintas samudra dan lintas benua.

 

Sumber Data :

 

Koentjaraningrat, 1964. Pengantar Antropologi, Cetakan Kedua, Universitas Indonesia, Jakarta.

Marzali, A, 2007. Antropologi dan Pembangunan Indonesia, Cetakan Kedua Kencana, Jakarta.

 

Ranjabar, J, 2008. Perubahan Sosial dalam Teori Makro : Pendekatan Realitas Sosial, Alfabeta, Bandung.

 

Sumber Gambar :

https://www.google.com/url?sa=i&url=https%3A%2F%2Fsimplenews05.blogspot.com%2F2019%2F04%2Fpenggolongan-pranata-sosial-berdasarkan.html&psig=AOvVaw2pV3Cxik2Wqtz1jgPi43JG&ust=1635513442431000&source=images&cd=vfe&ved=0CAgQjRxqFwoTCKDugvOY7fMCFQAAAAAdAAAAABAD


Thursday 14 October 2021

Minder? Tak Perlu Malu, Lawan!!


Wahyu Hidayah (19310410052)

Fakultas Psikologi

Pengampu : Arundati Shinta

Essay Wajib Pra-Syarat Ujian Tengah Semester


Membayangkan diri memasuki suatu ruangan dan lingkungan baru berisikan orang-orang yang aku anggap pintar, stylist, hebat dan supel. Aku akan  merasa tidak percaya diri berada di antara mereka dan ingin pulang saja. Perasaan seperti ini membuatku berpikir aku tidak layak diperhitungkan orang lain. Aku akan  menjadi sangat  khawatir akan kemampuanku  dan secara tidak sadar, selalu membanding-bandingkan diri dengan orang lain yang justru membuatku semakin down. Aku akan merasa bahwa tidak ada yang bisa diharapkan lagi soal diriku sendiri, bahkan sangat sering kehilangan hasrat menggebu-gebu untuk mencapai mimpi dan cita-citaku. Bahayanya, akibat dari rasa kecewa dan sedih karena rasa minder ini membuat aku jadi sering nggak bisa punya semangat untuk melakukan apapun.



Rasa rendah diri atau minder atau low self-esteem, adalah perasaan bahwa seseorang lebih rendah dibanding orang lain dalam satu atau lain hal. Perasaan demikian dapat muncul sebagai akibat sesuatu yang nyata atau hasil imajinasinya saja. Rasa rendah diri sering terjadi tanpa disadari dan bisa membuat orang yang merasakannya melakukan kompensasi yang berlebihan untuk mengimbanginya, berupa prestasi yang spektakuler, atau perilaku antisosial yang ekstrem, atau keduanya sekaligus. Tidak seperti rasa rendah diri yang normal, yang dapat mendorong pencapaian prestasi, kompleks rasa rendah diri adalah berupa keadaan putus asa parah, yang mengakibatkan orang yang mengalaminya melarikan diri saat mengalami kesulitan.

Menurut Morris Rosenberg dan Timothy J. Owens yang menulis buku berjudul Low Self-Esteem People: A Collective Portrait, orang-orang yang merasa rendah diri cenderung hipersensitif, kepercayaan diri mereka sangat rapuh dan bisa dengan sangat gampang digoyahkan bahkan oleh penolakan yang tidak nyata (mereka ciptakan sendiri). Kita manusia memiliki sebuah suara dalam diri kita yang hampir selalu mengkritik diri kita sendiri, kerap kali dengan terlalu keras. Orang-orang dengan perasaan rendah diri, dari dalam diri mereka, sudah melihat diri mereka sendiri sebagai seseorang yang buruk, yang tidak pantas (Firestone, 2017).

Rasa minder itu wajar, menurut Matrin E. Ford, merasa minder pada waktu-waktu tertentu adalah bagian dari kebiasaan normal manusia. Namun, Terlalu lama bergumul dalam perasaan rendah diri akan semakin memperkuat konsep bahwa diriku itu tidak pantas, tidak baik, dan banyak “tidak” lainnya.  Maka aku pelan-pelan membangun rasa percaya diri, karena aku percaya sejatinya rendah diri dapat ditaklukkan. Aku mulai sadar akan seberapa penting dan uniknya diriku sendiri dengan melihat orang lain yang berbeda denganku mendapat begitu banyak pengakuan di sosial media. Aku mulai melihat kepada orang-orang yang lebih sukses dariku untuk lebih semangat dan melihat ke bawah untuk bersyukur atas segala yang telah aku miliki hingga saat ini. Aku selalu ingat bahwa tiap-tiap orang punya “panggung”-nya masing-masing. Minder dalam waktu-waktu tertentu memang wajar, tetapi bukan berarti itu membuktikan aku tidak berharga atau tidak sehebat dirinya.

Ini yang sekarang mulai aku ingat : Tantang kenegatifan itu dengan hal-hal yang kamu tahu benar adanya.  Ingatlah dengan hal-hal positif yang orang lain katakan tentangmu, jadikan itu bukti untuk menentang kenegatifanmu (NHS, 2020). Jujurlah pada dirimu sendiri! Ketika kamu jujur dengan diri sendiri dan tidak menyembunyikan bagian dari dirimu kepada orang lain, kamu akan menjadi lebih percaya diri. Bangun rasa percaya dirimu dengan nilai-nilai dirimu sendiri. Pastikan bahwa nilai dirimu adalah dasaran dari kepercayaan dirimu. Melakukan hal-hal yang bermakna, kamu dapat menemukan sebuah tujuan yang jauh lebih besar dari dirimu, dan tujuan ini nantinya akan menjadi ujung dari perjalananmu menggapai sedikit arti dalam hidupmu, di mana kepercayaan diri akan terbentuk seiring kamu melakukan hal-hal tersebut (seperti membantu orang miskin, membantu teman-teman memperbaiki motor, dan hal-hal bermakna —bagimu, tentunya—  lainnya) (Firestone, 2017).

Sumber Pustaka :

Abrams, A. (2017, March 27). 8 Steps to Improving Your Self-Esteem. Retrieved from Psychology Today: https://www.psychologytoday.com/us/blog/nurturing-self-compassion/201703/8-steps-improving-your-self-esteem

Firestone, L. (2017, June 5). Low Self-Esteem: What Does it Mean to Lack Self-Esteem? Retrieved from PSYCHALIVE: https://www.psychalive.org/low-self-esteem/

 

NHS. (2020, February 6). Raising low self-esteem. Retrieved from NHS: https://www.nhs.uk/conditions/stress-anxiety-depression/raising-low-self-esteem/

 

Tyrrell, M. (2019, August 04). 5 Tips for Treating Inferiority Complex. Retrieved November 12, 2020, from https://www.unk.com/blog/5-tips-for-treating-inferiority-complex/

 

Sumber gambar :

 

https://unsplash.com/photos/Z_UALBboBHE


 

Wednesday 29 September 2021

Mengapa Manusia Suka Sambat Yaa?

                                                       Wahyu Hidayah (19310410052)

Fakultas Psikologi

Pengampu : Arundati Shinta

Essay Wajib Pra-Syarat Ujian Tengah Semester


Mengalami berbagai masalah dan kondisi dalam hidup membuat manusia tidak luput dari masalah. Situasi yang kadang kurang mengenakan untuk kita dan ketidakpuasan kita terhadap sesuatu hal sering kita lampiaskan dengan mengeluh. Mengeluh karena merasa masalah yang dihadapi tidak sesuai dengan keinginan, menghadapi permasalahan yang sulit, ingin meluapkan rasa marah, bahkan karena ingin mengharapkan simpati atau mendapat pengakuan dari orang lain. 

Kowalski (1996) mengatakan bahwa mengeluh merupakan ekspresi ketidakpuasan, tetapi tidak selalu seseorang yang mengeluh tersebut sebenarnya merasa tidak puas. Bisa saja mengeluh merupakan salah satu strategi yang digunakan untuk mencapai tujuan tertentu. Jadi, Kowalski mendefinisikan mengeluh sebagai ekspresi dari ketidakpuasan, maupun secara subjektif dialami atau tidak, dengan tujuan untuk melampiaskan emosi atau untuk mencapai tujuan tertentu.

Beberapa dari kita berpikir bahwa mengeluh bisa mengurangi beban emosi kita karena telah kita luapkan. Padahal, mengeluh membuat otak melepaskan hormon stres yang merusak koneksi saraf ketika mengeluh. Selain itu, mengeluh bisa memperpendek usia seseorang di mana orang yang gemar mengeluh biasanya berusia tiga kali lebih pendek dari orang yang bisa menikmati hidupnya. Mengeluh hanya memperburuk keadaan, tidak menyelesaikan masalah, dan malah bisa menambah masalah baru. (as cited in Navilon, 2019).

Mereka yang hobi mengeluh atau bahasa kekiniannya sambat, dianggap sebagai seorang yang lemah dan tidak pernah mensyukuri hidupnya. Padahal mengeluh mempunyai dampak positif jika dilakukan dengan benar. Orang-orang yang mengeluh dengan harapan untuk mencapai hasil tertentu cenderung lebih bahagia daripada mereka yang melakukan hanya karena ingin saja. Mereka yang mengeluh diiringi harapan mencapai hasil tertentu, dianggap cenderung lebih bahagia daripada mereka yang hanya menyimpan dalam hatinya (Tamtomo, 2019). Gordon  menyatakan ada keluhan yang boleh dilakukan karena memberikan dampak positif. Ia menjelaskan satu aturan sederhana untuk mengeluh, yakni seseorang tidak boleh mengeluh kecuali ada solusinya(Gordon, 2010). Hal tersebut dapat dilakukan dengan cara melawan keluhan tanpa tujuan (negatif) dengan keluhan yang dipikirkan (positif). Ketika mengeluh tanpa tujuan cenderung akan berfokus pada permasalahan. Sedangkan ketika mengeluh yang sudah dipikirkan, maka kita mengenali masalah dan keluhan itu sendiri yang kemudian menggerakkan kita terhadap solusi. Setiap keluhan memiliki peluang untuk mengubah hal negatif menjadi positif.

Daftar Pustaka:

Gordon, J. (2010). The no complaining rule. New Jersey: John Wiley & Sons, Inc.

Kowalski, R. M. (1996). Complaints and complaining: Functions, antecedents, and consequences. Psychological Bulletin, 119, 179-195.

Navilon, G. (2019). Science says constant complaining is bad for your health: Here’s how to complain properly.

Tamtomo, A.B. (2019). Infografik: Mengapa orang suka mengeluh?. Diunduh dari https://lifestyle.kompas.com/read/2019/07/12/063200120/infografik--mengapa-orang-suka-mengeluh

Sumber Gambar:

https://www.google.com/url?sa=i&url=https%3A%2F%2Fwww.dictio.id%2Ft%2Fmengapa-sebaiknya-kita-tidak-mengeluh%2F156841&psig=AOvVaw1R3Am816NZd4MYKdZbmnoE&ust=1633062935620000&source=images&cd=vfe&ved=0CAgQjRxqFwoTCMD655TxpfMCFQAAAAAdAAAAABAD

 

ORIENTASI NILAI BUDAYA MENURUT INDIVIDU MODERN SAAT INI : Kerangka Kluckhohn Mengenai 5 Masalah Besar Dalam Hidup yang Menentukan Orientasi Nilai Budaya Manusia.

  Wahyu Hidayah 19310410052 Artikel ini dibuat untuk memenuhi Tugas Ilmu Budaya Dasar Prodi Psikologi Universitas Proklamasi 45 Yo...